Perjalanan ke Asia Tengah (Kyrgyzstan, Tajikistan, Uzbekistan) pada
Juli 2018 sungguh merupakan salah satu pengalaman yang paling seru.
Pertama, karena jalannya sama teman-teman sendiri, sesama
hardcore traveler, sesama
travel writer,
yaitu @claudiakaunang dan @riniraharjanti. Kedua, karena perjalanannya
sungguh emosional – di satu sisi ternganga-nganga dengan indahnya
pemandangan, di sisi lain terhoek-hoek dengan toilet umumnya!
Ya, meski Asia Tengah diberkahi dengan pemandangan yang indahnya luar
biasa ternyata memiliki toilet umum terburuk di dunia. Saya menyadari
toilet umum di Asia Tengah itu parah sejak kunjungan ke Kazakhstan pada
Juli 2017. Meski Kazakhstan adalah negara terkaya di Asia Tengah, namun
toilet umum yang bener cuma di kota besar seperti di Astana dan Almaty.
Begitu ke pinggiran kota, ya ampun! Meski saat itu saya diundang oleh
pemerintahnya, tapi mereka juga tidak kuasa terhadap keadaan toilet
umumnya. Seorang peserta jurnalis asal Eropa mengatakan kepada saya,
“Yah begitu lah toilet umum di negara bekas jajahan Uni Soviet. Parah
semua!”
Jadilah saya wanti-wanti ke Claudia dan Rini untuk hati-hati sama
toilet umumnya, secara ketiga negara yang kami datangi lebih kacrut
daripada Kazakhstan. Saya suruh bawa kaca mata hitam biar pemandangan
jorok jadi agak samar-samar, masker hidung biar nutupin bau, parfum atau
minyak kayu putih untuk dibubuhi di masker hidung, serta tisu basah dan
tisu kering yang banyak. Kami pun siap berangkat
road trip dari Bishkek ke Samarkand.
Pagi itu baru juga meninggalkan kota Bishkek sejam, kami kebelet
pipis. Pas supir isi bensin ke pom, saya terpaksa turun mencari toilet
umum yang pasti berada di area belakang dengan bangunan terpisah. Dan
saya pun dihadapkan lagi dengan WC jongkok tanpa ada klosetnya. Jadi
hanya ada bolongan, tanpa air, baik untuk menyiram maupun membasuh!
Alamak, segala kotoran manusia terlihat jelas menumpuk di dalam bolongan
itu! Ditambah lagi dengan pasukan lalat dan lebah yang terbang
berkeliaran di bilik yang sempit tanpa ventilasi! Sambil jongkok
kebauan, lebah berdengung terbang di sekitar kepala tanpa bisa saya
usir. Saya langsung mempraktikkan cara menahan napas ala
freediving, buru-buru menyelesaikan tugas, lalu keluar sambil berlari kalang kabut kembali ke mobil. “
Gaes, good luck, ya!” kata saya kepada Claudia dan Rini yang dibalas dengan muka pucat.
Tipikal toilet umum di pom bensin (foto @claudiakaunang)
Sejak itu kami berusaha menahan pipis sedemikian rupa sampai tiba di
restoran atau penginapan. Pengalaman pertama yang buruk ini rupanya
meninggalkan trauma bagi Rini. Sejak itu dia memilih untuk tidak minum
sampai bibir kering daripada kebelet pipis. Sementara saya pada dasarnya
“onta” yang doyan minum air putih jadi rajin “mengepang” kaki.
Kasihannya Claudia sedang datang bulan, jadi mau tidak mau dia harus
masuk toilet umum.
Namanya juga
road trip di negara “nggak jelas” dan kami
berada di pelosok, ternyata restorannya pun memiliki toilet dengan jenis
yang sama berada di bilik terpisah jauh dari bangunan utama. Meski ada
tisu, tapi tetep bentuknya WC jongkok tanpa kloset dengan bolongan yang
berisi tumpukan kotoran tanpa air! Ewww!! Kalau restorannya besar, di
dalam satu kamar mandi terdapat beberapa WC. Ada kloset tapi tetep nggak
ada air. Parahnya lagi, antar WC hanya dipisah oleh tembok setinggi
paha. Aneh banget buang air sebelah-sebelahan sama orang nggak dikenal
sembari terdengar bunyi keluar kotorannya dan tercium baunya! Dem!!
Toilet restoran besar (foto @claudiakaunang)
Untung lah penginapan kami selalu punya toilet yang benar, kecuali satu kali saat kami kemping di
yurt (tenda
bulat khas bangsa Nomad) di pinggir danau Tulpar Kul di ketinggian 3500
meter dengan suhu minus derajat. Di sana tersedia dua toilet
portable terbuat dari kayu yang diletakkan jauh di belakang
yurt. Bolongan digali dari tanah, semua kotoran menumpuk di dalamnya. Masalahnya, ini
yurt turis yang diinapi bule-bule. Tau kan kalo bule itu nggak bisa jongkok? Alhasil
tokai
mereka banyak yang meleset dari bolongan jadi lah berceceran di
lantainya! Hoekkk!! Kami susah payah nahan pipis karena males ke toilet
di kegelapan dan kedinginan plus kejorokan, sampai akhirnya jam 2 pagi
kami sama-sama terbangun karena udah nggak kuat! “
We’re in this together!
Ayo berangkat!” kata saya berkomando sambil sok menguatkan satu sama
lain. Keesokan harinya ketika saya kebelet lagi, eh satu toilet udah
dirubuhin karena pindah galian lobang saking penuh isinya!
Toilet portable di yurt (foto @claudiakaunang)
Begitu kami melintasi Pamir Highway (bukan jalan
highway seperti
di kota, tapi jalan rusak di antara pegunungan Pamir), selama
berhari-hari kami jarang ketemu manusia lain. Karena berada di
ketinggian 4000an meter di atas permukaan laut, saya mengalami
altitude sickness
(penyakit akibat tipisnya oksigen di ketinggian) sehingga saya butuh
minum air putih sebanyak-banyaknya. Saat itulah kalau kebelet, saya
minta supir berhenti, menyuruhnya keluar mobil, dan dengan cueknya saya
pipis di pinggir jalan. Lama-lama Rini terpaksa melakukan hal yang sama,
jadi lah kami berbagi tempat: saya di jongkok roda depan dan Rini di
roda belakang!
Pee with a view, begitulah keadaan sebenarnya.
Saya tercyduk! (foto @riniraharjanti)
Kisah toilet umum selanjutnya diceritakan oleh Claudia yang terpaksa
menggunakan toilet umum. Makin memblusuk tempatnya ternyata restoran
tidak lagi memiliki toilet sendiri, tapi menggunakan toilet umum yang
berada di tengah pasar. Jaraknya aja bisa sampai 500 meter dari
restoran. Toilet privat aja udah parah begitu, gimana dengan toilet
pasar? Bayangkan toilet-toilet yang saya ceritakan di atas, lalu kalikan
tiga parahnya! Masih tetap bolongan doang, ditambah
tokai yang lebih menggunung, ceceran
tokai
di lantai dan tembok yang lebih banyak, bau yang lebih parah, dan
pasukan lalat sekompi! Arrrgghhhh!! Dasar Claudia sadomasokis, dia masih
sempet-sempetnya motretin toilet. Dengan catatan ini foto-foto yang
paling mending!
Toilet privat restoran (foto @claudiakaunang)
Bagaimana cara kami buang air besar dong? “Untung pantat kita supel! Baru bisa
boker
kalau toiletnya bagus!” kata Rini. Ya bener juga! Begitu ketemu
penginapan dengan toilet duduk dan ada air banyak mengalir, kami bisa
boker berkali-kali dalam sehari. Begitu kondisi toiletnya tidak kondusif, kami bisa nggak
boker sampai tiga hari!
Di hari terakhir, kami makan siang di restoran semacam
rest area.
Karena sudah berada di kota, kami tidak bisa lagi pipis sembarangan di
pinggir jalan dan udah kapok pipis di pom bensin. Padahal perjalanan
masih sekitar tiga jam berkendara lagi. Saya bertanya kepada
waitress,
di mana kah toilet? Dia menjawab sambil menunjuk ke arah luar. Ketika
kami sama-sama menoleh, seketika itu juga kami menjerit, “
NOOOO!!!”
Karena apa? Terlihat bangunan kecil khas toilet umum di seberang jalan,
tanpa pintu, tanpa ventilasi, dan di sampingnya parkirlah truk-truk
besar dengan abang-abang supirnya yang mengantre ke toilet! *semaput*
Saya jadi mikir, kenapa ya kok toilet Asia Tengah parah begitu? Saya
bisa mengerti kalau mereka pada dasarnya adalah bangsa nomad yang
mengembara jadi tinggalnya berpindah-pindah tanpa aliran air dan
listrik. Maka sistem toiletnya dengan cara menggali lubang, menumpuk
kotoran sampai penuh, baru ditutup lagi, dan pindah lubang lagi.
Sekarang sebagian dari mereka sudah hidup menetap, punya rumah tembok,
listrik, dan air. Tapi kenapa toiletnya yang dibuat permanen dari tembok
itu tetap berupa bolongan doang dan tidak ada air untuk menyiramnya?
Padahal ada lho air melimpah dari sungai dan sumber mata air, bahkan
banyak yang terbuang begitu aja di pinggir jalan sampai supir kami
sering menggunakannya untuk mencuci mobil!
Jadi, parahan mana sama toilet umum di Tiongkok daratan seperti yang
saya tulis di buku “The Naked Traveler 3”? Menurut saya, sama aja
joroknya! Bedanya, Tiongkok termasuk negara maju dengan gedung-gedung
pencakar langit, jadi ekspektasi kita tinggi terhadap kondisi toiletnya.
Masalahnya, kelakuan orang-orangnya yang tidak higinis seperti
bertahak, buang pembalut sembarangan, dan tidak mem-
flush WC
lah yang memperparah keadaan. Di Asia Tengah, secara negara baru merdeka
dan perekonomiannya masih kacrut menjadikan ekspektasi kita juga jadi
rendah terhadap toiletnya jadi harap maklum aja. Kedua, udara di Asia
Tengah kering sehingga baunya lebih mending daripada di Tiongkok yang
udaranya lebih lembap. Kelembapan itu memang memperparah bau-bauan.
Belum lagi jenis makanan orang Tionghoa yang pemakan segala dan serba
berbumbu itu menjadikan kotorannya lebih berbau.
Anyway, I survived public toilets in Central Asia! Biarpun
demikian, saya nggak kapok untuk berkunjung lagi. Kalau alamnya cantik
dan orangnya ramah, masalah toilet bisa lah dimaafkan.
Traveler
sejati memang harus supel bukan? Kami sih hanya ketawa-ketawa aja
dengan kerempongan buang air. Hanya satu yang bikin kami sama-sama
menjerit panik, yaitu kalau ada lalat nempel di makanan. Karena
terbayang lalat-lalat di toilet umum, makanan yang ketempelan lalat
langsung kami singkirkan! Eh ada satu lagi. Kalau ketemu cowok kece di
sana, kami langsung berkomentar, “Aduh, kece-kece gitu tapi bayangin
mereka ke toilet deh!”
Pemandangan kece!
If it takes no proper toilet to be in paradise, would you go? Ayo dikomen!
sumber
http://naked-traveler.com